22 Desember 2010 | 03.02 WIB
Jakarta, Kompas - Moderate Muslim Society menilai tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Hal serupa dikemukakan The Wahid Institute.
Ketua Moderate Muslim Society (MMS) Zuhairi Misrawi, Selasa (21/12) di
Jakarta, mengatakan, Provinsi Jawa Barat perlu mendapat perhatian khusus
karena lebih dari separuh kasus intoleransi di Indonesia meledak di daerah
tersebut. MMS mencatat, 49 kasus intoleransi, atau 61 persen dari
keseluruhan kasus, berlangsung di Jawa Barat. Dari 49 kasus yang ada di Jawa Barat, sebagian besar di antaranya terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan
Kuningan.
"Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada di daerah-daerah lain" ujar
Zuhairi dalam diskusi yang membahas laporan akhir tahun Toleransi dan
Intoleransi 2010 yang digelar MMS. Hadir pula sebagai pembicara dalam
diskusi itu Ahmad Saleh, pengurus Ahmadiyah, dan Romo Benny Susetyo Pr dari
Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Zuhairi menengarai, ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan akibat
sikap intoleran meningkat di Jawa Barat. Faktor pertama adalah pembiaran
yang dilakukan oleh negara. "Faktor kedua ialah rendahnya pendidikan agama
yang toleran di provinsi ini," tutur Zuhairi.
Meski demikian, ia juga melihat bahwa faktor politik, yakni pemilu kepala
daerah, juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan.
Pemerintah Membiarkan
Secara terpisah, Direktur The Wahid Institute: Zannuba Arifah Chafsoh atau yang akrab dipanggil Yenny Wahid juga menilai, kebebasan beragama dan situasi toleransi beragama di masyarakat pada tahun 2010 mundur.
"Pemerintah belum berpihak kepada korban diskriminasi agama dan cenderung membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Akibatnya, kelompok masyarakat itu semakin berani melakukan kekerasan," kata Yenny Wahid.
Hasil pemantauan The Wahid Institute sepanjang 2010, ditemukan 63 kasus
pelanggaran kebebasan beragama. Ironisnya, pelaku pelanggaran kebebasan
beragama paling banyak justru pemerintah daerah dan kepolisian (72 persen).
Bentuk pelanggaran yang dilakukan meliputi pembatasan dan pemaksaan untuk
meninggalkan keyakinan tertentu (25 kasus atau 40 persen), pencabutan izin
atau pelarangan menggunakan rumah ibadah (19 kasus atau 30 persen), serta
pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap umat beragama
(14 kasus atau 22 persen).
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat T Gayus Lumbuun menilai, negara tidak dapat menjamin kebebasan warga
untuk beribadah, seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
"Oleh karena itu, saya menganggap negara dalam keadaan darurat bencana
sosial," kata Gayus Lumbuun di Jakarta, saat menerima perwakilan jemaat
Huria Kristen Batak Protestan Betania Rancaekek, Bandung, Jawa Barat.
(NTA/WHY/ATO)